Kamis, 11 Februari 2016

Pertanian Berkelanjutan dan Ekologis


Kebijakan pembangunan pertanian tidak terlepas dari kehidupan politik bangsa. Pada masa Orde Baru kebijakan pembangunan pertanian lebih mengarah untuk mencukupi kebutuhan pangan, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan dibangunlah sistem produksi pangan (beras) secara terpadu dimulai dari pengadaan sarana produksi, pengembangan teknologi, pembangunan infrastruktur, membuat kebijakan stabilitas harga. Target utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan secara swa-sembada.

Kebijakan-kebijakan pembangunan pertanian untuk mewujudkan swasembada pangan dilakukan dengan:1) memberikan kemudahan untuk membangun sarana produksi pertanian dengan membangun pabrik pupuk kimia, dan pabrik pestisida, dan pabrik alat-alat pertanian.2) memberikan kemudahan impor benih unggul, dan pestisida.3) mengenalkan teknologi baru seperti pemakaian benih unggul, pupuk kimia, pestisida, cara pengolahan tanah, pengelolaan hama dan penyakit, dan cara panen.4) penyuluhan pertanian lebih mensosialisasikan sistim revolusi hijau tanpa menghiraukan pengembangan proses berfikir petani5) membangun jaringan irigasi secara besar-besaran untuk mendukung suksesnya sistim pertanian yang sedang dibangun6) membuat program pengembangan sarana lepas panen seperti lantai jemur, penggilingan padi7) mendirikan lembaga stabilisator harga, pengadaan stok dan distribusi beras melalui Bulog.

Strategi yang dibangun tersebut diatas satu sama lain saling terkait, saling tergantung, dan dapat sekali mewujudkan swasembada pangan. Tetapi selanjutnya yang terjadi tidak seperti harapan, petani semakin lama merasakan dilahannya jenis hama dan penyakit semakin tinggi, kebutuhan pupuk kimia semakin meningkat, ketergantungan terhadap benih tinggi, ketergantungan terhadap air tinggi, ketergantungan pada pestisida tinggi. Untuk memperoleh benih, pupuk, pestisida petani harus beli, ini berarti memperbesar biaya produksi. Biaya produksi tinggi tidak dirasakan oleh petani karena ada subsidi oleh pemerintah. Tetapi setelah pemerintah mencoba mencabut subsidi semua petani berteriak, dan mulai sadar bahwa petani dihadapkan pada posisi yang sudah tidak berdaya, sangat lemah, baik secara sosial, ekonomis maupun politik.

Politik pangan pada kenyataannya meminggirkan petani karena :
1) adanya kontrol yang kuat oleh pemerintah terhadap sistem produksi pangan petani2) orientasi produksi lebih berpihak kepada konsumen tidak kepada petani, masyarakat dieksploitasi untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan nasional dan kehidupan petani sendiri kurang mendapat perhatian3) petani menjadi sangat tergantung kepada pihak luar atau pemerintah4) menghilangkan diversifikasi pangan rakyat5) adanya pengambilalihan hak-hak petani.6) petani sebagai produsen pangan tidak bisa menentukan harga. Fakta tersebut diatas jelas-jelas menunjukkan adanya ketidak-adil-an.Selain meminggirkan petani, program untuk peningkatan produksi dan pemenuhan kebutuhan pangan mengakibatkan adanya ancaman ketidak seimbangan alam, karena tindakan yang ada cenderung mengeksploitir alam tanpa memperhatikan keseimbangan alam. 


Keseimbangan alam adalah sebuah keharusan karena alam dilahirkan dalam keadaan seimbang, didalam keseimbangan tersebut keragaman hayati yang ada saling berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lain.

Keseimbangan alam mencerminkan sebuah kehidupan yang penuh keragaman bentuk kehidupan.
Ancaman utama keseimbangan alam adalah kerusakan ekosistem karena proyek-proyek pembangunan pertanian yang masih menitik beratkan pada peningkatan produksi untuk mencukupi kebutuhan pangan dari pada kelestarian alam. Dorongan ekonomi dan teknologi lebih banyak menggantikan keragaman menjadi homogenitas, hal tersebut terlihat sejak diterapkannya sistim Revolusi Hijau, dimana keragaman hayati digantikan dengan keseragaman hayati dan monokultur, pupuk organik digantikan dengan pupuk kimia, varietas lokal diganti dengan varietas unggul.Pendekatan monokultur dalam program modernisasi pertanian dengan memperkenalkan varietas-varietas baru yang seragam ke petani-petani seperti PB-5, IR… dll, berakibat pada penghancuran keragaman varietas lokal. Penyebaran varietas berumur pendek/varietas unggul dilakukan dengan alasan untuk meningkatkan produktivitas juga bersifat kontektual dan bias nilai. Gerakan monokultur didasarkan pada keinginan meningkatkan hasil produksi dan kecukupan pangan dengan mengorbankan tanaman yang tidak dinginkan perlu pemikiran ulang. Harus dicatat bahwa produk yang diinginkan oleh pemerintah dan industri berbeda yang dinginkan oleh petani.Penggunaan varietas unggul menyebabkan penggunaan pupuk kimia di pertanian tinggi, selanjutnya menyebabkan stabilitas ekosistem terganggu, hal tersebut dilihat dari semakin menurunya organisme didalam tanah dan menurunnya kualitas tanah baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Pemupukan yang tidak didukung dengan pengairan yang baik dapat menjadikan penimbunan garam dalam tanah, yang akan mengurangi produktivitas tanah dan terkadang mencapai tingkat toksik sehingga tanah tidak lagi layak ditanam. 

Pemaksaan terhadap petani untuk menggunakan pupuk kimia dengan alasan meningkatkan kesuburan dan menaikkan produksi, dan penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan menaikkan produksi adalah juga tidak bebas nilai, ada kepentingan-kepentingan industri dan kroni industri untuk meneguk keuntungan sebesar-besarnya dari petani, tanpa memperhatikan adanya gangguan keseimbangan alam.

Penggunaan pestisida di sawah atau di alam menyebabkan stabilitas ekosistem menjadi tidak normal karena populasi Musuh Alami dan mikroorganisme yang ada dalam ekosistem menurun sehingga tidak bisa memanfaatkan populasi serangga lain sebagai sumber makanan, akibatnya populasi hama meningkat pesat setelah penggunaan pestisida menghilangkan agen pengendali alaminya (musuh alami), telah banyak bukti kasus ledakan hama karena penggunaan pestisida yang berlebihan seperti ledakan hama wereng coklat di Jawa Barat, Sumatra Utara, dan Jawa Timur. Dengan kondisi yang demikian itu maka keseimbangan alam atau stabilitas ekologi terganggu.Strategi pemerintah untuk meningkatkan produksi dan mencapai swasembada beras yang dapat menyebabkan kepunahan keragaman hayati dan menurunnya kualitas tanah serta merusak keseimbangan alam harus dihindari karena akan sangat berbahaya di masa depan.Program pertanian yang berorientasi pada pemenuhan pangan, dimana secara umum digambarkan lebih respek ke produksi pertanian (produksi tinggi, berorientasi teknologi canggih, mengadopsi teknologi, menggunakan ekternal input). Dampak yang ditimbulkannya terhadap petani adalah petani diposisikan sebagai penerima dan sangat tergantung kepada petugas (PPL, Peneliti, para ahli, dll). Dampak terhadap lingkungan adanya peningkatan penggunaan input kimia (pupuk dan pestisida) dan adanya out break hama dan penyakit. akibat lebih jauh petani tidak mampu mengelola masalah mereka sendiri dan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru.Banyak perbedaan term dengan pertanian yang berorientasi pada pemenuhan pangan, pertanian berkelanjutan sering dipresentasikan sebagai oposisi rovolusi hijau, lebih digunakan untuk konservasi sumberdaya alam dan ekosistem, rendah input, dan regenerasi sebagai upaya untuk melakukan perubahan. Ada juga yang menterjemahkan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian organik.

Jadi pertanian berkelanjutan banyak memperhitungkan keberlanjutan, regenerasi, alternatif, rendah external input, konservasi sumberdaya alam, alami, eko-pertanian, agro-ekologi, organik.

Secara umum ciri-ciri pertanian berkelanjutan adalah 1) memberikan kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya baik secara langsung maupun tidak. 2) teknologi pengelolaan alam mempu menghasilkan alam yang lestari 3) menggunakan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung peri kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang 4) meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasak sumber alam dan melindungi serta untuk mendukung perikehidupan secara terus menerus 5) memberikan kesempatan berkembang yang sama dalam waktu yang sama maupun berbeda secara sambung menyambung.

Tujuan akhir yang akan dicapai dalam pertanian berkelanjutan adalah1) lebih menekankan pada proses yang alami seperti hubungan hama dan musuh alami dalam proses produksi pertanian.2) mengurangi penggunaan input luar yang potensi merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia serta meminimalkan biaya.3) memperbesar produksi dengan menggunakan teknologi dan pengetahuan lokal termasuk, termasuk inovasi-inovasi yang belum dipahami secara penuh oleh para ahli tetapi sudah digunakan secara luas oleh petani.4) menambah rasa percaya diri petani dan masyarakat desa5) memperbaiki hubungan antar pola tanam, potensi produksi, cuaca, dan hamparan untuk keberlanjutan jangka panjang.6) berproduksi secara efisien dan menguntungkan dengan manajemen Pengelolaan Hama Terpadu, konservasi tanah, sumberdaya energi dan biologi.


Dengan pertanian berkelanjutan tentu akan dapat menempatkan petani menjadi produsen ilmu pengetahuan dan teknologi, serta petani menjadi mandiri dan tidak tergantung pada pihal luar. Lebih jauh petani akan mampu mengelola masalah mereka sendiri.

Strategi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan tersebut bisa dilakukan melalui pendekatan Sekolah lapangan yang dapat menempatkan petani sebagai subyek dan menjaga Stabilitas Ekosistem, melestarikan musuh alami, mengembangkan pertanian organic, mengembangkan Pengetahuan Lokal (Indigenous knowledge) masyarakat, dan mengembangkan sains petani. (disarikan dari berbagai sumber)

sumber : http://kepak.or.id/2014/12/26/pertanian-berkelanjutan-dan-ekologis/









Rabu, 10 Februari 2016

AHL Di Lahan Bawang Merah, Tegalsari, Tulungrejo, Pare, Kediri


Lahan pertanian milik Bapak Subandi di desa Tegalsari, Tulungrejo, Pare (Kampung Inggris) dikeluhkan nyaris tidak dapat lagi dipergunakan untuk bercocok tanam hortikultura, padahal telah bertahun-tahun pak Subandi bergelut dalam pertanian hortikultura. Dalam beberapa tahun terakhir ini pak Subandi hanya dapat bercocok tanam padi dan jagung saja, yang mana hasil panennya pun juga tidak sebaik yang diharapkan, apalagi bila dipandang dari nilai ke-ekonomiannya, yang sangat jauh dari hasil hortikultura seperti cabe rawit, cabe merah, atau pun bawang merah.

Berbagai upaya telah dilakukan pak Subandi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman pada lahannya, namun tetap saja tidak dapat optimal. Pemberian pupuk kimia atau pun organik pun telah dilakukan, baik secara kualitas atau pun kuantitas. Pemilihan benih pun tidak luput dari uji coba pak Subandi pada lahannya, sehingga pak Subandi pun hanya dapat nrimo dengan kondisi lahannya.

Pada pertengahan Januari 2016, pak Subandi berkenan untuk mengaplikasikan AHL pada lahan ujinya, yakni bawang merah, yang mana beliau sampaikan sebagai upaya terakhirnya untuk dapat berharap bahwa lahannya masih dapat ditanami bawang merah. Dengan areal lahan seluas banon 100 atau sekitar 1.400 meter persegi pak Subandi mengaplikasikan AHL namun tidak seperti yang kami anjurkan, yakni pengaplikasian pada saat olah tanah. Hal tersebut dikarenakan pak Subandi masih pesimis dan skeptis dengan produk AHL..

Pak Subandi, Petani Bawang Merah di Tegalsari, Tulungrejo

AHL pun diaplikasikan pada lahan yang telah dipersiapkan sebagai media tanam. Pengaplikasian dilakukan sesuai arahan arahan dari Bang I'im selaku tim pendamping AHL pada lahan pak Bandi. Pengecekan tekstur tanah, pH tanah, dan sondir dilakukan oleh tim pendamping untuk database kami.

Selang 10 hari berikutnya tim kami melakukan kunjungan ke lahan pak Bandi, untuk melihat perkembangan yang terjadi pada lahan beliau. Dalam kunjungan tersebut kami mendengarkan berbagai macam pendapat dan masukan yang disampaikan oleh pak Subandi, diantaranya adanya keluhan bahwa belum terjadi perubahan apa pun pada lahannya.


Pada 2 Pebruari 2016 lalu kami sempatkan untuk berkunjung kembali pada lahan pak Subandi. Pada kunjungan itu pak Subandi menyampaikan bahwa perubahan yang terjadi pada tanah pertaniannya mengalami perubahan yang begitu mengejutkan. Bahwa pemupukan yang dilakukan pak Subandi baru satu kali, yakni penggunaan ZA sebanyak 1 zak pada luasan 1.400 m2, dan hingga pada saat itu usia bawang merahnya 30 hst. Pada usia tersebut bawang merah milik pak Subandi terlihat begitu subur, bahkan bisa dikatakan masih terlalu tinggi kadar N pada tanamannya.

Hal tersebut diatas merupakan suatu pembuktian dari AHL yang mampu membongkar sedimentasi residu kimia di dalam tanah yang selama ini tidak dapat terurai atau pun terserap tanaman sebagaimana mestinya. Dan juga dapat dibuktikan dengan aplikasi AHL, pak Subandi mampu menghemat penggunaan pupuk bila dibandingkan pola tanam yang telah dilakukannya sebelumnya atau pun bila dibandingkan dengan lahan petani lain yang menanam bawang merah non-AHL.
Bawang merah dengan AHL dan Non-AHL

Selain itu tekstur tanah pak Subandi yang cenderung berpasir mengalami perubahan yang begitu signifikan, yakni terjadi peningkatan daya rekat tanah. Sehingga bisa diasumsikan, bahwa dengan bertambahnya tingkat koloid tanah maka tanah mampu untuk mengikat air dengan baik. Sehingga dapat tercipta cadangan air pada tanah, yang selama ini tidak dapat terjadi.

Perbandingan kondisi tanah pada lahan pak Subandi dengan tanah di lahan petani lain di areal yang sama.

Dan salah satu kabar gembira dari pak Subandi adalah kini pada lahannya muncul cacing tanah, yang telah lama tidak dapat diketemukan lagi. Besar harapan pak Subandi untuk dapat berbudidaya bawang merah pada lahannya dan memperoleh hasil maksimal. Kini asa pun terajut kembali bagi pak Subandi untuk areal sawahnya di lokasi yang lain untuk dapat memaksimalkan hasil pada sawahnya dengan bertani secara ekonomis.

Lahan bawang merah milik pak Subandi setelah aplikasi AHL.